Saya mau pinjam uang lima juta tetapi harus ada infaqnya untuk TPA, terserah berapa tidak ditentukan, karena takut riba maka akadnya saya ganti: “Biar saya sebagai orang yang meminjam nanti saya yang melebihkan sendiri,” bolehkah ini dalam Islam? (081379059XXX)
Jawab:
Antara akad yang pertama dan yang kedua sama-sama tidak diperbolehkan, karena kedua-duanya mengandung unsur riba. Bedanya yang pertama unsur ribanya dari pihak yang meminjamkan, meskipun dengan bahasa infaq, namun selisih pengembalian itu substansinya adalah riba, karena meskipun istilahnya dirubah dari bunga ke infaq namun karena substansinya sama maka tidak merubah hukumnya. Sedangkan yang kedua, unsur ribanya dari orang yang meminjam, karena ia menjanjikan untuk mengembalikan dengan nominal yang lebih banyak dari nominal yang ia pinjam, sekalipun ia belum menentukan berapa besaran tambahannya diawal akad atau transaksi tersebut. Keduanya haram karena mengandung riba, yaitu tambahan dari jumlah nominal peminjaman.
Oleh karenanya hati-hatilah kita dalam melangkah agar kita tidak terjebak dalam persoalan riba yang diharamkan, mengingat begitu keras ancaman dan siksa bagi orang yang terjerembab dalam persoalan riba, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam :
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang hasil riba yang dimakan oleh seseorang sementara ia mengetahuinya, itu lebih keras (siksaannya) daripada melakukan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad No 21450)
Jangan lantaran kita terdesak pada suatu kebutuhan menjadikan kita mengambil jalan pintas, menghalalkan transaksi yang bertentangan dengan syariat. Jangan kita berdalih : “Ulama atau ustadz fulan membolehkan.” Ketahuilah bahwa dalam mengambil pendapat bukan hanya yang penting ada ulama yang memperbolehkan, namun hendaknya dikaji dan dibandingkan dari pendapat-pendapat yang ada mana pendapat yang lebih kuat yang didukung dengan dalil-dalil yang shahih dan penjelasan para ulama yang tsiqah dan memiliki kapabilitas keilmuan yang diakui oleh kaum muslimin, itulah pendapat yang kemudian kita jadikan sebagai rujukan.
Mudah-mudahan kita tidak termasuk kedalam orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ
“Dari Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu dari Nabi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu masa dimana orang-orang sudah tidak peduli lagi apakah harta yang didapat dari cara yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari No 1954).
Namun kita berusaha membersihkan semua jenis muamalah kita dari unsur-unsur ribawi agar kita kita mendapat keberkahan di dunia dan keselamatan di akhirat kelak. Wallahu Ta’ala A’lam Bis Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar